Menerangi langit dan bumi. Nur hidayah umpama 'Misykaat' dalam qandil kaca yang jernih terang laksana bintang yang bersinar cemerlang yang dinyalakan banyak manfaatnya, yang sentiasa terdedah kepada sinarNya dengan sendirinya memancarkan cahaya bersinar walaupun ia tidak disentuh api yang berganda-ganda, berlapis cahaya memimpin sesiapa yang dikehendakiNya dan Allah Maha Mengetahui akan tiap-tiap sesuatu

November 15, 2011

Kata Dulang


Semua penyelewengannya, akan semua perbuatannya yang menyakiti hati, menimbulkan penyesalan yang amat hebat, yang menghentak-hentak di hati, yang menghimpit hati dan mendatangkan kedukaan dan kekecewaan serta penyesalan yang hampir tidak kuat ditahannya dan yang membuat beberapa kali hampir mengambil keputusan nekad untuk membunuh diri saja. Hidup ini rasanya seperti dalam neraka. Bertahun-tahun menderita, rasa rindu yang menggerogoti kalbu, penyesalan diri yang amat mendalam, kemudian rasa khuatir kekasih mungkin kini telah melupakan, bahkan mungkin sekali kini telah menjadi isteri orang. Semua ini membuat keadaan batin makin lama makin lemah dan tertekan. 

Sepintas lalu kita akan merasa kasihan. Namun kita lupa betapa kita sendiri pun hampir setiap hari menghadapi hal-hal yang sama atau tidak jauh selisihnya dengan keadaan itu. Hidup di dunia ini begini penuh kesengsaraan, begini penuh konflik dan duka nestapa, hanya kadang-kadang, saja kita dapat menikmati kebahagiaan selintas seperti cahaya kilat diantara awan mendung yang memenuhi angkasa kehidupan. Kalau kita mau membuka mata melihat kenyataan, di seluruh dunia ini penuh dengan konflik, kebencian, dendam, permusuhan yang tak kunjung habis, bahkan yang kadang-kadang meletus dalam perang yang menewaskan ratusan ribu orang manusia. Bunuh-membunuh, dendam-mendendam yang terjadi di dalam dunia kita ini, dalam zaman moden dan ‘maju’ ini, ternyata jauh lebih hebat dan mengerikan daripada yang terjadi dalam cerita-cerita.

Di dalam kenyataan hidup sehari-hari, kita semakin menjauhi Ketuhanan dan perikemanusiaan. Ketuhanan dan perikemanusiaan hanya menjadi hiasan bibir belaka bagi kita, hanya kita dengang-dengungkan sebagai slogan-slogan kosong. Kenyataan pahit ini harus kita hadapi dengan mata dan telinga terbuka dan untuk menyelidiki kebenarannya, kita harus membuka mata mengamati diri kita sendiri. Benarkah kita ini ber-Tuhan? Benarkah kita ini berperikemanusiaan? Tak perlulah untuk menilai orang lain apakah dia atau mereka itu ber-Tuhan atau berperikemanusiaan, kerana penilaian kepada orang lain itulah yang membuat kita menjadi palsu, yang membuat kita menggunakan pengertian ber-Tuhan dan berperikemanusiaan itu untuk menyalahkan dan menyerang orang lain. Marilah kita mengamati diri kita sendiri.

Kita semua mengaku beriman, kita semua mengaku ber-Tuhan tetapi mari kita singkirkan semua pengakuan yang tidak ada arti dan gunanya ini, melainkan kita mengamati batin sendiri apakah benar-benar kita ber-Tuhan. Kalau kita benar-benar ber-Tuhan, sudah tentu setiap saat kita waspada, setiap saat kita sedar Tuhan mengamati semua perbuatan kita, mendengarkan semua suara hati dan mulut kita. Sebaliknya, kalau kita ber-Tuhan hanya di mulut belaka, terjadilah seperti yang sekarang ini terjadi di dunia, di antara kita semua, iaitu dalam keadaan menderita saja kita ingat kepada Tuhan, sedangkan waktu selebihnya kita lupakan begitu saja, lupakan dengan sengaja kerana kita haus akan kesenangan dan Tuhan kita anggap sebagai penghalang kesenangan. Dapatkah kita hidup ber-Tuhan bukan dengan kata-kata kosong, pengakuan mulut, melainkan dengan sepenuhnya, secara mendalam, mendarah daging dan nampak dalam setiap gerakan, ya, bahkan setiap tarikan nafas kita? Dapatkah? Yang menjawab hanya bukti pada diri kita sendiri kerana semua jawaban teori hanya kosong melompong tanpa erti. Penghayatan dalam kehidupan setiap saatlah yang menentukan segalanya.

Kita selalu ingin disebut sebagai orang yang berperikemanusiaan. Betapa menggelikan dan juga menyedihkan. Seolah-olah perikemanusiaan hanya semacam cap atau semacam hiasan belaka. Pernahkah kita meneliti mengamati diri sendiri lahir batin apakah kita ini berperikemanusiaan ataukah tidak. Adakah api ‘kasih’ bernyala dalam batin kita? Tidak ada. Api itu padam sudah. Yang ada hanya abu dan asapnya saja yang membutakan mata. Yang ada hanyalah pengejaran wang, kedudukan, dan pengejaran kesenangan jelas meniadakan cinta kasih. Pengejaran kesenangan memupuk dan membesarkan si AKU yang ingin senang dan makin besar adanya si AKU, makin jauhlah sinar cinta kasih dari batin. Semua itu, yang nampak demikian gemilang dan menyilaukan, yang nampak demikian menyenangkan, sesungguhnya hanyalah lorong lebar menuju kepada kesengsaraan hidup. Memang, kita boleh tersenyum mengejek dengan sinis, boleh saja. Kita semua seperti dalam keadaan buta selagi mengejar-ngejar kesenangan yang kita namakan dengan istilah-istilah muluk seperti kemajuan dan sebagainya.

Bilakah kita akan sedar hidup tanpa cinta kasih tidak mungkin membuat kita hidup ber-Tuhan dan berperikemanusiaan? Ber-Tuhan berarti hidup penuh sinar cinta kasih. Berperikemanusiaan berarti penuh cinta kasih. Dunia penuh konflik, penuh kebencian, penuh pertentangan dan permusuhan, penuh pemberontakan dan peperangan, namun kita masih selalu bicara tentang damai tentang perikemanusiaan dan sebagainya. Sama dengan membicarakan tentang bunga dan buah selagi pohonnya sakit dan gugur.
Kho Ping Khoo